Home » » Makna Isra’ Mi’raj Dalam Kehidupan

Makna Isra’ Mi’raj Dalam Kehidupan

Prof. DR H Husain Aziz, MA

Pada setiap diri manusia ada dua potensi. Pertama, potensi yang menghubungkan ke alam. Seperti lapar, haus, sahwat dll. Hal ini yang membuat manusia mencari makanan, minuman dan pasangan hidupnya dari jenis yang lain. Perkembangan dalam mencari kebutuhan jasmaniah ini menusia mempelajari ilmu kealaman (sains) yang bila direkayasa melahirkan teknologi. Sementara bukti yang menghubungkan kepada Allah adalah ia beragama, ia beribadah seperti sholat dan ibadah lainnya. Kedua, yang menghubungkan ke Allah SWT. 

Pada tatanan yang sama, para ahli pendidikan menyebutkan potensi yang menghubungkan ke alam adalah otak kiri, yang dalam bahasa Al-Qur’an dinyatakan sebagai ashhab asyimal . Sedangkan potensi yang menghubungkan kepada Allah SWT adalah otak kanan yang dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai ash haabul yamiin. Sedangkan yang terbaik dan ideal adalah gabungan dari keduannya yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai al Muqarrabiin. (QS Al Waqia’ah : 11). 

Tidak hanya hidup nyaman di akhirat, tetapi juga hidup nyaman di dunia. Demikian itu karena terpenuhinya dua aspek, hubungan dengan alam dan hubungan dengan Allah. Yang menghubungkan ke alam melahirkan sains dan teknologi yang merupakan sarana untuk kelangsungan hidup manusia. Sementara yang menghubungkan manusia kepada Allah (iman dan ibadah), dapat meningkatkan kualitas derajat manusia. Karena beriman kepada Allah dan taat kepadaNya, melahirkan akhlak yang mulia. Peningkatan hubungan manusia ke alam merupakan makna dari Isra’. Karena tujuan Isra’ adalah memperlihatkan kebesaran Allah SWT. (QS. Bani Israil : 1). Sementara potensi yang menghubungkan kepada Allah merupakan makna dari Mi’raj. Sebab Mi’raj adalah mengenal, beriman, dan pendekatan diri kepada Allah SWT, Dzat yang Maha Luhur. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda : ash shalatul mi’rajul mukminin. (shalat merupakan mi’rajnya orang beriman). 

Permasalahan yang timbul di masyarakat sekarang ini adalah karena tidak adanya keseimbangan nilai dari dua aspek ini. Ada yang hanya mengutamakan aspek kealaman / kebutuhan jasmani, dan mengabaikan keimanan, sehingga tidak mempunyai moral walaupun mempunyai kekayaan, sehingga korupsi dan tindak kejahatan lainnya tidak dapat terhindarkan. Di fihak lain ada yang hanya mengutamakan aspek keimanan atau ketuhanan, mengabaikan aspek kealaman, sehingga ditimpa kemelaratan meski memiliki moral. 

Fakta sejarah membuktikan, bahwa Rasulullah SAW baik ketika berada di Makkah maupun di Madinah, ia memiliki pasar dan pada saat yang sama memiliki masjid. Para Wali di pulau Jawa yang dikenal Wali Songo dalam mendidik masyarakat tidak hanya memiliki masjid, akan tetapi juga memiliki pasar. Pasar untuk memenuhi kebutuhan jasmani yang berarti untuk kelangsungan hidupnya. Sementara masjid merupakan kebutuhan rohaninya yang berarti untuk meningkatkan kualitas derajatnya, karena dengannya menudia akan berakhlak yang mulia. 

Orang yang tidak mengenal Allah, ia tidak akan mengenal jati dirinya. Bila tidak mengenal jati dirinya, tidak akan berakhlak mulia. Mengenal Allah berarti mengenal jati diri, mengenal jati diri akan berakhlak mulia. Rasulullah SAW bersabda : man arafallahu ‘arafa nafsahu (barang siapa mengenal Allah, maka ia akan mengenal jati dirinya). 

Seseorang bila mengetahui, bahwa ia berasal dari Dzat Maha Luhur, ia akan mencintai keluhuran dan keagungan dan akan membenci kehinaan dan kenistaan. Husain Ibnu Abi Thalib berkata : Kejujuran adalah kemuliaan dan kebohongan adalah kelemahan. Oleh karena itu, seorang harus selalu jujur, karena jujur adalah kemuliaan dan seyogyanya mencari kemuliaan. Orang mukmin harus menghindari kebohongan dan kedustaan, karena kebohongan adalah kelemahan dan kenistaan. Mengenal dan mengingat jati diri tidak akan tercapai tanpa mengenal dan mengingat Allah, keduanya menurut Al-Qur’an dan hadis Nabi tidak dapat dipisahkan. Mengingat jati diri berarti mengingat Allah, dan mengingat Allah berarti mengingat jati diri. Realitas ibadah seperti sholat yang merupakan hasil dari perjalanan Mi’raj adalah menemukan jati diri bukan diri hewani. (QS al Ankabut : 45). 

Janganlah kita hanya membangun jasad, fisik kita, jati diri kita akan semakin menghilang. Betapapun banyaknya minyak wangi yang kita semprotkan ke badan kita di kemudian hari akan menjadi bangkai dan berbau busuk. Oleh karena itu, kita menyemprotkan minyak wangi ke jiwa kita dengan cara mengingat Allah SWT yang di antaranya adalah mendirikan shalat lima waktu. 

Seorang sufi mengemukakan sebuah tamsil yang cukup menarik untuk kita angkat dalam kajian ini. Yaitu ada seorang telah menyiapkan sebidang tanah untuk membangun rumah. Disebabkan oleh berbagai faktor ia tidak membangun ia tidak bisa membangun rumahnya di siang hari, ia membangun rumah di malam hari. Setelah selesai, di siang hari ia pergi untuk menempatinya. Akan tetapi sewaktu melihatnya, ternyata rumah yang ditempati itu dibangun di atas tanah orang lain, sementara tanahnya sendiri ternyata masih kosong. Tamsil ini melukiskan seorang yang meninggal dunia, ia melihat dirinya seperti sebidang tanah yang masih kosong.


0 ulasan:

Catat Ulasan