Home » » Bahagia Saat Orang Lain Bahagia

Bahagia Saat Orang Lain Bahagia



Ir H Abdullah Shahab, MSc

Dalam kehidupan kita ada kalanya kita merasa sedih ketika orang lain sedih, tetapi ada yang lebih istimewa dari itu adalah apakah kita bahagia ketika orang lain bahagia. Itu tantangan yang sangat berat. Apakah ada orang yang bahagia dengan kesedihan orang lain. Tampaknya ini sesuatu yang luar biasa. Tetapi secara diam-diam mungkin kita pernah mengalami dan menikmati hal seperti itu, walaupun dalam bentuk terselubung. Kita saksikan dalam permainan sport, misalnya permainan tinju. Seseorang akan bahagia, akan berterima kasih kepada Allah jika berhasil melumpuhkan dan menjatuhkan temannya ke kanvas. Demikian juga dalam permainan sepak bola, kebahagiaan satu tim belum bisa diraih sebelum tim lain menderita kekalahan. Maka sering kebahagiaannya itu bertambah jika melihat isak tangis orang lain. Maka itu saya mengatakan lepas dari kompetisi, lepas dari keindahan sport, lepas dari sesuatu yang menyenangkan dan enak ditonton. Permainan sport seperti itu adalah olah raga dengan spiritual rendah, karena kebahagiaan seseorang harus dibayar dengan penderitaan orang lain.

Maka dalam kehidupan kita itu harus berupaya bahwa kebahagiaan kita ketika melihat kebahagiaan orang lain. Itu perlu jiwa yang besar, dan doa yang banyak yang kita panjatkan kepada Allah SWT. Ada kalanya kita tidak suka kalau orang lain memperolah sesuatu, dengan kata lain, kalau saya tidak memperoleh, orang lain tidak boleh memperolah. Mungkin kita masih ingat ketika kita bermain layang-layang ketika kita masih kecil. Kalau kita mengejar layang-layang, maka layang-layang itu harus menjadi milik saya, harus kena saya, kalau tidak kena saya, tidak boleh kena orang lain, maka saya robek, karena saya tidak ridho orang lain memperoleh sesuatu yang tidak kita perolah. Oleh karena itu, merasa senang ketika orang lain senang itu adalah sesuatu yang tidak mudah. Kadang-kadang suasananya akan menjadi lebih sulit, kalau orang yang mendapatkan rahmat, berkah, yang mendapatkan anugerah dari Allah SWT itu adalah yang tadinya di bawah kita. Misalnya ketika saya sekolah di SMA saya berteman dengan seseorang di mana teman saya itu tidak punya prestasi yang gemilang, tidak punya kelebihan apapun, dan kita memandangnyapun tidak terlalu hebat. Kemudian pada suatu hari bertemu dengan teman kita itu dengan kejayaannya, berpangkat lebih tinggi, berpendidikan tinggi dengan anak dan isteri yang berprestasi, dengan mobi dan rumah yang mewah. Apakah hati kita bahagia melihat kejadian seperti itu? itulah tantangan. Biasanya kita mengeluh, dan dengan gaya protes mengeluh kepada Allah SWT “atas dasar apa dia diberi seperti itu, kan mestinya saya yang dikasih” perasaan seperti ini hadir dalam setiap diri manusia, yang itu harus diperangi. Maka, dalam setiap hari kita harus belajar bagaimana kita merasa bahagia saat saudara kita merasakan kebahagiaan.

Pada suatu hari Rasulullah SAW diberi oleh seorang wanita sehelai kain yang dirajut, wanita ini mengatakan aku membuat rajut ini untuk engkau, maka aku ingin engkau memakainya. Kemudian Rasul masuk dan dipakai dengan penuh keindahan. Kemudian ada seorang sahabat yang mengatakan : indah betul kain yang engkau pakai ya Rasulullah, andaikan engkau berikan kepadaku alangkah senangnya hatiku. Kemudian para sahabat yang lain mengatakan : Kenapa kamu mengatakan seperti itu kepada Rasulullah, padahal Rasulullah baru saja mendapat pemberian dari seseorang, dan kamu juga tahu bahwa Rasulullah tidak pernah menolak jika dimintai sesuatu.? Kemudian Rasulullah langsung ke belakang, melepas kain itu dan membungkusnya, kemudian memberikannya kepada sahabat yang minta tadi. Sahabat lain yang tidak begitu senang dengan apa yang dilakukan sahabat ini mengatakan : Anda keterlaluan!. Sahabat yang meminta kain itu menjawab sebenarnya kain ini bukan untuk aku pakai, aku tidak memanfaatkan kain ini untuk diriku, tetapi akan aku pakai sebagai kafanku ketika aku akan bertemu dengan Allah SWT. Maka kain itu digunakan sebagai kafan ketika sahabat itu meninggal. Itulah beberapa contoh yang kami sampaikan, dan hati-hati seperti mereka itu tidak akan kita miliki kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Orang-orang yang bahagia ketika melihat orang lain bahagia. Dan ini tidak mudah. Kita akan dengan mudah ikut empati dan simpati dengan penderitaan orang lain. Ketika kita mendengar bencana gunung Merapi, kita akan akan pedih dengan mereka, dan akan mudah sekali kepedihan itu, karena kita dalam keadaan yang sangat enak, kita dalam keadaan yang sangat aman dengan tidak ada kekuarangan satu apapun. Kalau sudah dalam kondisi seperti itu kemudian kita tidak merasa empati, saya kira ini sangat berbahaya. Tetapi apakah kita ridho ketika melihat orang lain berhasil. Apakah kita ridho ketika saya berjuang dengan sangat tetapi yang diangkat menjadi pimpinan malah teman saya. Apakah saya ridho ketika, saya yang berupaya sungguh-sungguh, kemudian yang menduduki posisi yang lebih tinggi malah teman saya. Bahkan saya melihat bahwa yang menyebabkan umat Islam kurang berhasil dalam bidang politik, manajemen dan organisai, adalah tidak ridho kalau temannya yang jadi, karena yang diinginkan adalah dia yang jadi. Maka dari itu dalam setiap perjuangan jangan pernah menginginkan bahwa harus saya yang jadi.

Pada suatu hari ketika nabi bersama-sama dengan para sahabat, Nabi duduk dan mengatakan : sayatlu alaikumul aan rajulun min ahlil jannah (akan muncul di antara kalian ini orang calon penghuni surga) dan para sahabat menunggu, ternyata orang yang sama hingga tiga kali. Sehingga ada sahabat yang ingin menyaksikan sendiri amalan apa yang dilakukan orang ini sehingga dia disebut Rasulullah sebagai penghuni surga. Kemudian dia datang ke rumah orang itu hingga menginap beberapa hari untuk menyelidiki dan memperhatikan semua yang dilakukan orang itu bagaimana ibadahnya, bagaimana amalannya, bagaimana kehidupan pribadinya, bagaimana muamalahnya dia dengan orang lain, itu semua diperhatikan, tetapi semua tidak ada yang istimewa. Malam harinya juga tidak ada yang istimewa, jadi semua biasa-biasa saja. Akhirnya di hari yang ketiga sahabat ini mengatakan : aku heran dengan kamu, kenapa Rasul mengatakan kamu ahli surga, apa amalanmu yang istimewa? orang ini mengatakan : aku tidak punya amalan apapun yang istimewa ya seperti yang engkau saksikan ini. Tetapi sahabat ini masih penasaran sehingga terus menyelidik. Kemudian sambil berlalu seseorang itu nyeletuk, saya tidak tahu, mungkin amalan saya yang dianggap baik itu saya merasa bahagia ketika saudara saya bahagia, saya ridho ketika orang lain bahagia. Kemudian sahabat itu mengatakan : sikap ini yang sulit, itu yang menyebabkan kamu dikatakan calon penghuni surga. Karena memang sulit ketika orang lain bahagia kemudian kita ikut bahagia.

0 ulasan:

Catat Ulasan